Jumat, 18 Desember 2015

Analisis Stasiun Hujan di Jawa Tengah Bagian Barat

            Curah hujan merupakan salah satu unsur iklim yang penting dan merupakan daur hidrologi yang tidak terpisahkan. Distribusi hujan akan berbeda-beda menurut ruang dan waktu. Perbedaan ini dipengaruhi oleh faktor cuaca lain seperti suhu, kelembaban, radiasi matahati, angin, dan topografi di suatu daerah.
            Data hujan merupakan data yang memiliki sifat fundamental dan sangat diperlukan dalam keperluan perencanaan dan pekerjaan yang terkait dengan hidrologi. Sebagai contoh adalah erosi tanah, pengendalian banjir, irigasi, ketersediaan air, pembangunan jalan, dan pembangunan jembatan. Curah hujan yang dibutuhkan adalah curah hujan rata-rata wilayah.
            Salah satu daerah yang akan dianalisis data stasiun hujannya adalah Jawa Tengah, tepatnya di bagian barat. Titik tengah yang digunakan sebagai pemisah antara bagian timur dan bagian barat adalah Semarang, sehingga Semarang digunakan sebagai salah satu daerah kajian dalam analisis korelasi stasiun hujan.

a. Sebaran Stasiun Hujan
            Suatu daerah memerlukan sebaran stasiun hujan yang optimal, artinya jumlah stasiun hujan tersebut tidak boleh melebihi maupun kurang dalam hal jumlah.Stasiun hujan yang ideal diperlukan di suatu daerah. Hal ini dikarenakan apabila terlalu sedikit jumlah stasiun hujannya maka data hujan akan menunjukkan error yang cukup tinggi dan tidak bisa merepresetasikan keadaan curah hujan di suatu wilayah. Stasiun hujan juga tidak boleh terlalu banyak, karena jumlah yang berlebih tentu tidak akan efisien.         
            Sebaran stasiun hujan yang berada di daerah Jawa Tengah bagian barat ini dapat dilihat pada peta sebaran stasiun hujan Jawa Tengah bagian barat. Berdasarkan pada peta, diketahui bahwa terdapat 18 stasiun hujan yang tersebar di 18 kabupaten yang ada di Jawa Tengah. Berdasarkan perhitungan dari metode Wilsom E. M (1974), diketahui bahwa stasiun hujan yang ada adalah antara 12 hingga 15 stasiun hujan.  Stasiun hujan yang ada di daerah penelitian adalah 18, namun hal ini masih bisa dikatakan ideal sebab perbedaan fisiograf yang ada di Jawa tengah, dimana Jawa dibagi menjadi 3 daerah utama. Utara merupakan daerah lipatan, tengah merupakan daerah gunung-gunung api, sedangkan daerah selatan berupa dataran dan pengangkatan. Perbedaan fisiografi tersebut yang menyebabkan perbedaan topografi antar daerah. Hal ini yang menjadi pertimbangan meletakkan stasiun hujan sebanyak 18 agar mampu merepresentasikan data yang ada untuk analisis selanjutnya.

b. Korelasi Antar Stasiun Hujan
            Tingkat korelasi antar stasiun hujan digunakan untuk mengetahui bagaimana korelasi antar 2 stasiun hujan yang berdekatan. Korelasi ini menunjukkan bagaimana hubungan antara dua stasiun yang berdekatan, apakah memiliki korelasi yang tinggi, sedang, atau rendah. Apabila korelasi antar 2 stasiun memiliki nilai yang besar, maka perlu dilakukan pertimbangan kembali untuk menghilangkan salah satu stasiun hujan sebab hal tersebut tidak efisien karena memiliki nilai yang sama.
            Korelasi antar stasiun hujan digunakan harus diketahui terlebih dahulu sebelum menganalisis perhitungan lain, seperti interpolasi, hujan wilayah, dan iklim. Korelasi antar stasiun perhitungannya menggunakan SPSS, dan dalam menentukan perhitungan membuat segitiga-segitiga yang saling menghubungkan stasiun dan stasiun terdekat. Korelasi antar stasiun dapat dilihat pada tabel korelasi dari hasil SPSS. Ukuran solidaritas dari hasil perhitungan korelasi antar stasiun yaitu:
0,0 – 0,199         = Korelasi sangat lemah
0,2 – 0,399         = Korelasi lemah
0,4 – 0,599         = Korelasi sedang
0,6 – 0,799         = Korelasi kuat
0,8 – 1                = Korelasi sangat kuat

            Hasil diketahui bahwa dari data hujan tahun 1979-2010 diketahui stasiun hujan yang berada di daerah Jawa Tengah Bagian Barat memiliki korelasi antar stasiun yang berbeda-beda, mulai dari korelasi lemah, korelasi sangat lemah, korelasi sedang, korelasi kuat, dan korelasi sangat kuat. Korelasi antar stasiun sangat lemah, lemah, dan sedang menunjukkan bahwa antar stasiun tersebut memiliki hubungan yang kecil. Sehingga stasiun yang memiliki nilai korelasi yang sangat lemah, lemah, dan sedang tidak perlu dihilangkan salah satu stasiunya karena dua daerah yang diwakili kedua stasiun tersebut tidak saling berhubungan. Hal ini bisa dipengaruhi oleh jarak antar stasiun maupun perbedaan ketinggian dari stasiun hujan yang diamati.
            Korelasi yang kuat adalah korelasi yang memiliki nilai pada rentang 0,6 – 0,799. Pada rentang ini terdapat 11 korelasi antar stasiun yang menggambarkan kondisi tersebut. Korelasi yang kuat menunjukkan perbedaan yang sedikit antara kedua stasiun yang dianalisis. Hal ini dipengaruhi oleh jarak dan hujan yang hampir seragam dalam setahun pada daerah yang dianalisis.
            Korelasi sangat kuat adalah koreasi yang memiliki rentang 0,8 – 1. Kondisi korelasi sangat kuat ditunjukkan oleh 3 pasangan korelasi stasiun hujan. Korelasi tersebut yaitu korelasi Sempor-Wadas Lintang, korelasi Cilacap-Karangkemiri, dan korelasi Sempor-Karangkemiri. Korelasi sangat kuat ini menunjukkan hubungan yang sangat kuat dari ketiga pasangan korelasi tersebut. Karangkemiri dengan Sempor memiliki nilai korelasi yang sangat kuat karena jarak stasiun tersebut yang kecil, yaitu 18,94 km. Jarak yang dekat membuat korelasi antara kedua stasiun ini menjadi lebih besar dibandingkan dengan daerah lain karena hujan yang ada relatif sama karena pengaruh ketinggian tempat yang ada.

c. Hubungan Jarak Stasiun dengan Korelasi Antar Stasiun
            Analisis selanjutnya yang dibahas adalah hubungan antara jarak antar stasiun yang terdekat terhadap korelasi antar stasiun. Jarak antar stasiun dihubungkan dengan membuat segitiga-segitiga yang membuat poligon tertutup sehingga mewakili daerah yang akan dianalisis. Sedangkan Korelasi juga sama menggunakan hasil dari segitiga yang ada.


Gambar 1. Grafik Hubungan Korelasi dan Jarak Antar Stasiun
           
            Berdasarkan grafik hubungan korelasi dan jarak antar stasiun, dapat dilihat bahwa grafik menunjukkan pola yang berbanding lurus dengan hubungan yang sangat lemah. Pola yang ditunjukkan cenderung berbanding lurus, namu hubungan yang lemah menunjukkan bahwa semakin tinggi jarak antar stasiun, belum tentu diikuti dengan kenaikan korelasi. Hal ini dipengaruhi oleh perbedaan fisiografi yang mendasar di Jawa Tengah, dimana daerah utara merupakan daerah lipatan, daerah tengah merupakan daerah yang terdiri dari jajaran gunung api, dan daerah selatan merupakan dataran. Perbedaan fisiogafi ini mempengaruhi terhadap hubungan antara jarak dan korelasi, karena topografi mempengaruhi curah hujan. Korelasi antar stasiun yang berdekatan bisa memiliki hubungan yang lemah karena memiliki perbedaan topografi. Topografi merupakan salah satu yang mempengaruhi curah hujan, dimana semakin tinggi suatu tempat, akan menyebabkan curah hujan di daerah tersebut cenderung semakin besar curah hujannya.

d. Hujan Wilayah di Jawa Tengah Bagian Barat
            Curah hujan di suatu wilayah berbeda dengan curah hujan curah hujan di wilayah lainnya. Artinya, curah hujan akan berbeda-beda menurut ruang dan waktu, tergantung faktor-faktor yang mempengaruhi seperti suhu, kelembaban, angin, radiasi matahari, dan topografi suatu tempat. Curah hujan wilayah dibuat diperkirakan dari 18 titik stasiun hujan yang tersebar di Jawa Tengah bagian Barat. Distribusi hujan wilayah Jawa Tengah bagian barat disajikan dalam suatu peta isohyet, yang berasal dari perhitungan rata-rata tahunan tahun 1991-2000 dan 2001-2010.
            Peta Isohyet yang pertama diperoleh dari rata-rata curah hujan tahunan tahun 1991- 2000. Hujan yang ditampilkan pada peta Isohyet tahun 1991-2000 menunjukkan bahwa curah hujan tertinggi adalah 4400 mm/tahun, dan curah hujan terendah sebesar 1600 mm/tahun. Pola isohyet menunjukkan curah hujan yang tinggi di bagian tengah. Tingginya curah hujan di bagian tengah ini dipengaruhi oleh fisiografi di daerah tengah. Daerah tengah pulau jawa merupakan daerah yang terdiri dari jajaran gunung api, sehingga memiliki topografi yang tinggi. Topografi yang tinggi mengakibatkan tingginya curah hujan karena adanya hujan orografis, dimana semakin tinggi suatu tempat maka curah hujannya akan cenderung lebih besar.
            Peta Isohyet yang kedua diperoleh dari rata-rata curah hujan tahunan tahun 2001-2010. Hujan yang ditampilkan pada peta Isohyet tahun 2001-2010 menunjukkan bahwa curah menunjukkan pola isohyet yang hampir sama dengan periode isohyet tahun 1991-2000. Curah hujan tertinggi adalah 4400 mm/tahun, dan curah hujan terendah sebesar 1500 mm/tahun. Pola isohyet menunjukkan curah hujan yang tinggi di bagian tengah. Tingginya curah hujan di bagian tengah ini dipengaruhi oleh fisiografi di daerah tengah. Daerah tengah pulau jawa merupakan daerah yang terdiri dari jajaran gunung api, sehingga memiliki topografi yang tinggi. Topografi yang tinggi mengakibatkan tingginya curah hujan karena adanya hujan orografis, dimana semakin tinggi suatu tempat maka curah hujannya akan cenderung lebih besar.
            Penyebaran curah hujan wilayah berdasarkan metode Isohyet diketahui bahwa di daerah tengah memiliki curah hujan yang tinggi, yaitu di daerah Purbalingga, Banjarnegara, Pemalang, Banyumas, dan Wonosobo. Tingginya curah hujan ini dipengaruhi oleh topografi daerah tersebut yang merupakan daerah dengan topografi pegunungan, sehingga memiliki curah hujan yang tinggi.
            Curah hujan yang tinggi juga bisa dilihat pada stasiun hujan Sempor. Stasiun hujan sempor memiliki curah hujan yang tinggi, sehingga merupakan daerah tangkapan hujan. Curah hujan yang tinggi di daerah Sempor sebagai daerah tangkapan hujan telah dimanfaatkan oleh pemerintah untuk membangun Waduk Sempor. Waduk Sempor merupakan waduk yang memiliki banyak manfaat, yaitu sebagai pembangkit listrik, penahan air agar tidak cepat masuk ke laut, dan sebagai sumber irigasi daerah yang berada di bawahnya.
            Curah hujan tinggi juga berada di daerah Dataran Tinggi Dieng. Dataran tinggi dieng seperti yang diketahui, merupakan dataran tinggi yang sebagian besar lahannya merupakan lahan kritis. Pengelolaah lahan di daerah ini merupakan pengelolaan yang buruk, karena petani disana teraseringnya tidak sejajar kontur, melainkan tegak lurus kontur. Terasering yang tegak lurus kontur tersebut menyebabkan tanah akan mudah mengalami erosi, sehingga top soil atau tanah atas akan hilang apabila terjadi hujan. Tanah atas merupakan tanah yang subur karena memiliki unsur hara yang banyak. Apabila terjadi hujan, maka akan tererosi oleh overland flow. Hal ini dipengaruhi oleh curah hujan rata-rata tahunan yang tinggi di daerah Dieng dilihat dari Peta Isohyet yang ada. Curah hujan yang tinggi tersebut mengakibatkan daerah Dieng semakin berbahaya, curah hujan yang tinggi akan mengakibatkan lahan yang ada akan terosi. Daerah tangkapan hujan tersebut mengakibatkan daerah dieng seharusnya digunakan sebagai daerah Tangkapan Hujan, karena apabila penggunaan lahan tidak sesuai makan akan memiliki bahaya yang tinggi, seperti terjadi longsor.


Daftar Pustaka
Sugiyono. 2009. Statistik Untuk Penelitian. Bandung : Alfabet.

Tjasyono, Bayong. 2004. Klimatologi. Bandung : ITB.

METODE CORAL ANALYSIS DALAM KAJIAN PALEOKLIMATOLOGI



            Paleoklimatologi adalah suatu ilmu yang mempelajari perubahan iklim di seluruh rentang waktu sejarah bumi. Paleoklimat merupakan salah satu bidang ilmu mempelajari iklim masa lampau dengan skala waktu puluhan sampai ribuan tahun yang lalu, beserta implikasinya terhadap perubahan yang terjadi dalam ekosistem bumi. Paleoklimat menjadi salah satu ilmu yang penting dan menjadi isu yang menarik untuk di angkat pada akhir-akhir ini.
            Perubahan iklim global (global climate change) seperti naiknya suhu di bumi atau sering disebut dengan global warming memiliki dampak negatif. Untuk mengatasi dampak negatif baik terhadap manusia, hewan, tumbuhan, dan lingkungan abiotik dari perubahan iklim tersebut, maka kita memerlukan prediksi untuk masa depan. Prediksi dapat dilaksanakan dengan short term maupun long term.
            Paleoklimat menjadi salah satu ilmu yang penting, karena paleoklimat dapat mengetahui iklim yang terjadi di masa lampau. Iklim dan cuaca merupakan dua hal yang berbeda. Cuaca memiliki variabilitas yang sangat tinggi sehingga susah untuk kita melakukanprediksi secara tepat. Berbeda dengan cuaca, iklim memiliki variabilitas yang sangat rendah dan prediksinya lebih akurat.
Iklim di setiap periode bumi mengalami perubahan,oleh karena itu paleoklimatologi menjadi hal yang menarik untuk dipelajari. Para ahli paleoklimat berpendapat bahwa perubahan iklim tidak hanya terjadi pada saat ini, namun perubahan iklim juga terjadi di masa lampau. Selain itu, apabila kita mengetahui iklim di masa lampau kita juga bisa memprediksikan iklim yang akan ada di masa yang akan datang.
Banyak metode yang dapat digunakan untuk merekonstruksi perubahan iklim di masa lalu. Berikut merupakan contoh paleoklimatologi :
a. Penggunaan lingkar pohon
Penggunaan lingkar pohoh seperti pohon pinus dan beench dapat digunakan untuk paleoklimatologi. Hal ini dikarenakan ketebalan dari lingkaran tahun sangat sensitif terhadap perubahan suhu atau curah hujan setiap tahunnya. Lingkaran tahun menebal saat curah hujan tinggi, kemudian menipis saat musim kering.
b. Penggunaan data inti es kutub
Penggunaan data inti es kutub dapat mendokumentasikan iklim masa lampau dari ribuan hingga jutaan tahun. Data inti es diperoleh dari hasil pnggalian berupa komposisi debu dan konsentrasi oksigen dalam gelembung-gelembung udara.
c. Penggunaan data sedimen dasar laut
Penggunaan sedimen dasar laut hampir sama dengan inti es kutub. Penggunaan sedimen dasar laut dapat ditentukan melalui jasad renik baik dari tumbuhan atau hewan (poraminifera) dan komposisi bahan kimia yang terkandung pada sedimen laut (seperti kandungan kalsium karbonat.

Pembahasan selanjutnya adalah mendalami salah satu metode paleoklimat. Metode paleoklimat yang diperdalam adalah restrukturisasi suhu permukaan laut dan air laut (salinitas) untuk interpretasi iklim masa lampau dari coral analysis atau analisis karang.
Informasi tentang perubahan lingkungan dan iklim dapat diperoleh dari interpretasi struktur dan tekstur dalam sedimen, meliputi mineral lempung dan foraminifera. Pendapat ini didasarkan pada prinsip geologi, bahwa proses fisika dan kimia yang terjadi di bumi di masa lalu sama dengan yang terjadi sekarang (Gingle & Decker, 2001). Karakter sedimen dan batuan yang tersingkap di bawah permukaan bumi maupun bawah permukaan dapat digunakan untuk membaca fluktuasi maupun tren perubahan kondisi lingkungan (Martin & Meybeck, 2006).
            Sedimen dan mineral lempung merupakan elemen utama dari kerak bumi baik di daratan maupun dasar laut sebagai fraksi sedimen berukuran kurang dari 0,063 mm. Mineral terbentuk oleh proses erosi dan pelapukan suatu batuan, yang dikontrol oleh faktor-faktor iklim seperti suhu, presipitasi, evaporasi, kadar air, curah hujan, angin, dan intensitas sinar matahari. Kelimpahan mineral lempung seperti illite, nacrite, smectite, montmorilonite dan kaolinite digunakan sebagai indikator iklim bersuhu dingin, hangat, tropis basah, panas dan kering (Gingle & Decker, 2001); (Martin & Maybeck, 2006). Demikian pula halnya dengan foraminifera yang merupakan organisme mikroskopis (berukuran 0,063 mm–1 mm), cangkangnya yang keras, sebaran geografis dan sebaran geologisnya yang luas membuat taksa ini sangat potensial digunakan sebagai petunjuk kondisi suatu lingkungan, baik pada masa kini maupun masa lalu.
            Studi sedimen dan mineral ini dilakukan untuk mengetahui kandungan dan tekstur mineralogi, mekanisme transport sedimen, asal usul endapan sedimen, tingkat pelapukan batuan, tingkat erosi dan jenis batuan sumbernya, sehingga dapat menginterpretasi kondisi lingkungan dan iklim di masa lalu. Kajian tentang pola sebaran foraminifera bentik bertujuan untuk mengetahui sejauh mana dampak perubahan iklim dan lingkungan terhadap biota yang hidup dalam sedimen.
Rekonstruksi perubahan lingkungan laut yang menggunakan sampel dari sedimen dasar laut, sampel yang dipakai harus berasal dari sedimen yang terdeposisi secara menerus tanpa mengalami gangguan seperti erosi, redeposisi, atau kerusakan-kerusakan oleh binatang. Sedimen laut yang paling baik untuk kepentingan rekonstruksi lingkungan adalah sedimen yang berasal dari laut dalam. Sedimen laut dalam dipilih karena tidak ada pengaruh pengendapan atau transportasi material dari arah samping yang akan mengacaukan informasi lingkungan yang terekam. Sedimen laut dalam hanya berasal dari material yang diendapkan dari seluruh kolom air yang berada di atas dasar laut di mana sedimen tersebut diendapkan. Sehingga sedimen laut dalam merupakan hasil pengendapan kontinyu dan tak terganggu yang memberikan rekaman kondisi lingkungan secara terus menerus.

Metode yang dilakukan
            Cara untuk mengetahui adalah pertama dengan pengambilan contoh sedimen dengan Phleger corer berdiameter 2 inci yang direncanakan tanpa pengulangan. Sampel berupa subsurface sedimen dengan panjang bervariasi, rata-rata mencapai 100 cm. Sedimen yang didapatkan dari core langsung disimpan dalam tabung polietilen yang tertutup rapat dan dimasukkan dalam kotak pendingin. Di laboratorium sampel dikeluarkan dari dalam tabung, dibelah menjadi 2 bagian. Satu bagian disimpan sebagai arsip dan bagian lain disayat untuk mendapatkan inti core pada lapisan yang dianggap mewakili informasi yakni pada lapisan permukaan, tengah dan bawah core.
 Setelah melakukan pengambilan sampel dilapangan, analisis selanjutnya adalah melakukan analisis laboratorium. Analisis mineral lempung dengan metode X-ray diffraction dilakukan di Laboratorium. Salah satu laboratorium yang dapat melakukn analisis ini adalah laboratorium Geologi, Pusat Survey Geologi Bandung. Penyinaran dengan sinar X dilakukan terhadap sedimen lempung yang telah dijenuhkan dengan ion K+ dan Mg2+, dan dipanaskan pada suhu 250°C selama dua jam. Perbedaan panjang gelombang dan sudut pantul yang dihasilkan dari penyinaran tersebut mencerminkan tiap komposisi kimia mineral yang berbeda. Penentuan umur sedimen dilakukan di Laboratorium Material, Badan Atom dan Tenaga Nuklir Jakarta mengggunakan metode isotop Pb210 dan C14. Pemeriksaan foraminifera dilakukan pada sampel sedimen hasil core pada lapisan permukaan dan dasar. Sampel dicuci dengan menggunakan saringan 0,063 mm. Foraminifera bentik diidentifikasi pada tingkat jenis. Identifikasi jenis foraminifera menggunakan referensi dari Graham & Militante (1959).
            Metode coral analysis merupakan salah satu metode untuk rekonstruksi paleoklimat dengan sangat baik. Metode ini dalam merekonstruksi iklim purba dapat menghasilkan data parameter iklim yang banyak dan juga sebab terjadinya perubahan iklim dapat diidentifikasi pada metode ini. Selain itu, rentang waktu data iklim yang terekam dalam sedimentasi karang cenderung panjang dan dapat menghasilkan rekonstruksi iklim purba dalam rentang waktu yang lama. Akan tetapi metode ini sulit dalam pengambilan sampelnya, sebab harus dilakukan pada laut dalam agar sedmentasi dapat menggambarkan iklim di masa lampau tanpa ada gangguan dari hewan. Analisis yang digunakan dalam metode ini cukup rumit, sehingga menjadi salah satu kelemahan dari penggunaan metode coral analysis tersebut.

Reference

           Martin & Maybeck. 2006. Formation and alteration of clay materials. London: Engineering Geology                Special Publications.