Jumat, 18 Desember 2015

METODE CORAL ANALYSIS DALAM KAJIAN PALEOKLIMATOLOGI



            Paleoklimatologi adalah suatu ilmu yang mempelajari perubahan iklim di seluruh rentang waktu sejarah bumi. Paleoklimat merupakan salah satu bidang ilmu mempelajari iklim masa lampau dengan skala waktu puluhan sampai ribuan tahun yang lalu, beserta implikasinya terhadap perubahan yang terjadi dalam ekosistem bumi. Paleoklimat menjadi salah satu ilmu yang penting dan menjadi isu yang menarik untuk di angkat pada akhir-akhir ini.
            Perubahan iklim global (global climate change) seperti naiknya suhu di bumi atau sering disebut dengan global warming memiliki dampak negatif. Untuk mengatasi dampak negatif baik terhadap manusia, hewan, tumbuhan, dan lingkungan abiotik dari perubahan iklim tersebut, maka kita memerlukan prediksi untuk masa depan. Prediksi dapat dilaksanakan dengan short term maupun long term.
            Paleoklimat menjadi salah satu ilmu yang penting, karena paleoklimat dapat mengetahui iklim yang terjadi di masa lampau. Iklim dan cuaca merupakan dua hal yang berbeda. Cuaca memiliki variabilitas yang sangat tinggi sehingga susah untuk kita melakukanprediksi secara tepat. Berbeda dengan cuaca, iklim memiliki variabilitas yang sangat rendah dan prediksinya lebih akurat.
Iklim di setiap periode bumi mengalami perubahan,oleh karena itu paleoklimatologi menjadi hal yang menarik untuk dipelajari. Para ahli paleoklimat berpendapat bahwa perubahan iklim tidak hanya terjadi pada saat ini, namun perubahan iklim juga terjadi di masa lampau. Selain itu, apabila kita mengetahui iklim di masa lampau kita juga bisa memprediksikan iklim yang akan ada di masa yang akan datang.
Banyak metode yang dapat digunakan untuk merekonstruksi perubahan iklim di masa lalu. Berikut merupakan contoh paleoklimatologi :
a. Penggunaan lingkar pohon
Penggunaan lingkar pohoh seperti pohon pinus dan beench dapat digunakan untuk paleoklimatologi. Hal ini dikarenakan ketebalan dari lingkaran tahun sangat sensitif terhadap perubahan suhu atau curah hujan setiap tahunnya. Lingkaran tahun menebal saat curah hujan tinggi, kemudian menipis saat musim kering.
b. Penggunaan data inti es kutub
Penggunaan data inti es kutub dapat mendokumentasikan iklim masa lampau dari ribuan hingga jutaan tahun. Data inti es diperoleh dari hasil pnggalian berupa komposisi debu dan konsentrasi oksigen dalam gelembung-gelembung udara.
c. Penggunaan data sedimen dasar laut
Penggunaan sedimen dasar laut hampir sama dengan inti es kutub. Penggunaan sedimen dasar laut dapat ditentukan melalui jasad renik baik dari tumbuhan atau hewan (poraminifera) dan komposisi bahan kimia yang terkandung pada sedimen laut (seperti kandungan kalsium karbonat.

Pembahasan selanjutnya adalah mendalami salah satu metode paleoklimat. Metode paleoklimat yang diperdalam adalah restrukturisasi suhu permukaan laut dan air laut (salinitas) untuk interpretasi iklim masa lampau dari coral analysis atau analisis karang.
Informasi tentang perubahan lingkungan dan iklim dapat diperoleh dari interpretasi struktur dan tekstur dalam sedimen, meliputi mineral lempung dan foraminifera. Pendapat ini didasarkan pada prinsip geologi, bahwa proses fisika dan kimia yang terjadi di bumi di masa lalu sama dengan yang terjadi sekarang (Gingle & Decker, 2001). Karakter sedimen dan batuan yang tersingkap di bawah permukaan bumi maupun bawah permukaan dapat digunakan untuk membaca fluktuasi maupun tren perubahan kondisi lingkungan (Martin & Meybeck, 2006).
            Sedimen dan mineral lempung merupakan elemen utama dari kerak bumi baik di daratan maupun dasar laut sebagai fraksi sedimen berukuran kurang dari 0,063 mm. Mineral terbentuk oleh proses erosi dan pelapukan suatu batuan, yang dikontrol oleh faktor-faktor iklim seperti suhu, presipitasi, evaporasi, kadar air, curah hujan, angin, dan intensitas sinar matahari. Kelimpahan mineral lempung seperti illite, nacrite, smectite, montmorilonite dan kaolinite digunakan sebagai indikator iklim bersuhu dingin, hangat, tropis basah, panas dan kering (Gingle & Decker, 2001); (Martin & Maybeck, 2006). Demikian pula halnya dengan foraminifera yang merupakan organisme mikroskopis (berukuran 0,063 mm–1 mm), cangkangnya yang keras, sebaran geografis dan sebaran geologisnya yang luas membuat taksa ini sangat potensial digunakan sebagai petunjuk kondisi suatu lingkungan, baik pada masa kini maupun masa lalu.
            Studi sedimen dan mineral ini dilakukan untuk mengetahui kandungan dan tekstur mineralogi, mekanisme transport sedimen, asal usul endapan sedimen, tingkat pelapukan batuan, tingkat erosi dan jenis batuan sumbernya, sehingga dapat menginterpretasi kondisi lingkungan dan iklim di masa lalu. Kajian tentang pola sebaran foraminifera bentik bertujuan untuk mengetahui sejauh mana dampak perubahan iklim dan lingkungan terhadap biota yang hidup dalam sedimen.
Rekonstruksi perubahan lingkungan laut yang menggunakan sampel dari sedimen dasar laut, sampel yang dipakai harus berasal dari sedimen yang terdeposisi secara menerus tanpa mengalami gangguan seperti erosi, redeposisi, atau kerusakan-kerusakan oleh binatang. Sedimen laut yang paling baik untuk kepentingan rekonstruksi lingkungan adalah sedimen yang berasal dari laut dalam. Sedimen laut dalam dipilih karena tidak ada pengaruh pengendapan atau transportasi material dari arah samping yang akan mengacaukan informasi lingkungan yang terekam. Sedimen laut dalam hanya berasal dari material yang diendapkan dari seluruh kolom air yang berada di atas dasar laut di mana sedimen tersebut diendapkan. Sehingga sedimen laut dalam merupakan hasil pengendapan kontinyu dan tak terganggu yang memberikan rekaman kondisi lingkungan secara terus menerus.

Metode yang dilakukan
            Cara untuk mengetahui adalah pertama dengan pengambilan contoh sedimen dengan Phleger corer berdiameter 2 inci yang direncanakan tanpa pengulangan. Sampel berupa subsurface sedimen dengan panjang bervariasi, rata-rata mencapai 100 cm. Sedimen yang didapatkan dari core langsung disimpan dalam tabung polietilen yang tertutup rapat dan dimasukkan dalam kotak pendingin. Di laboratorium sampel dikeluarkan dari dalam tabung, dibelah menjadi 2 bagian. Satu bagian disimpan sebagai arsip dan bagian lain disayat untuk mendapatkan inti core pada lapisan yang dianggap mewakili informasi yakni pada lapisan permukaan, tengah dan bawah core.
 Setelah melakukan pengambilan sampel dilapangan, analisis selanjutnya adalah melakukan analisis laboratorium. Analisis mineral lempung dengan metode X-ray diffraction dilakukan di Laboratorium. Salah satu laboratorium yang dapat melakukn analisis ini adalah laboratorium Geologi, Pusat Survey Geologi Bandung. Penyinaran dengan sinar X dilakukan terhadap sedimen lempung yang telah dijenuhkan dengan ion K+ dan Mg2+, dan dipanaskan pada suhu 250°C selama dua jam. Perbedaan panjang gelombang dan sudut pantul yang dihasilkan dari penyinaran tersebut mencerminkan tiap komposisi kimia mineral yang berbeda. Penentuan umur sedimen dilakukan di Laboratorium Material, Badan Atom dan Tenaga Nuklir Jakarta mengggunakan metode isotop Pb210 dan C14. Pemeriksaan foraminifera dilakukan pada sampel sedimen hasil core pada lapisan permukaan dan dasar. Sampel dicuci dengan menggunakan saringan 0,063 mm. Foraminifera bentik diidentifikasi pada tingkat jenis. Identifikasi jenis foraminifera menggunakan referensi dari Graham & Militante (1959).
            Metode coral analysis merupakan salah satu metode untuk rekonstruksi paleoklimat dengan sangat baik. Metode ini dalam merekonstruksi iklim purba dapat menghasilkan data parameter iklim yang banyak dan juga sebab terjadinya perubahan iklim dapat diidentifikasi pada metode ini. Selain itu, rentang waktu data iklim yang terekam dalam sedimentasi karang cenderung panjang dan dapat menghasilkan rekonstruksi iklim purba dalam rentang waktu yang lama. Akan tetapi metode ini sulit dalam pengambilan sampelnya, sebab harus dilakukan pada laut dalam agar sedmentasi dapat menggambarkan iklim di masa lampau tanpa ada gangguan dari hewan. Analisis yang digunakan dalam metode ini cukup rumit, sehingga menjadi salah satu kelemahan dari penggunaan metode coral analysis tersebut.

Reference

           Martin & Maybeck. 2006. Formation and alteration of clay materials. London: Engineering Geology                Special Publications.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar